Connect with us

Nasional

RUU Perampasan Aset, Senjata Antikorupsi atau Ancaman Baru?

Published

on

JAKARTA, suluhbanua.news – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tengah digodok untuk segera disahkan. RUU ini disebut-sebut sebagai “senjata pamungkas” negara dalam melawan korupsi dan tindak pidana luar biasa. Namun, di balik niat mulia itu, terdapat sejumlah pasal yang rawan disalahgunakan, multitafsir, dan justru berpotensi menakutkan rakyat ketimbang melindungi.

Jika tidak diperbaiki, pasal-pasal tersebut dapat merusak kepercayaan publik terhadap hukum dan negara. Setidaknya terdapat lima pasal yang harus menjadi perhatian serius:

1. Pasal 2

Negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana.

Menggeser asas praduga tak bersalah. Pedagang atau pengusaha kecil yang administrasi keuangannya lemah bisa dianggap memiliki harta “tidak sah” dan asetnya terancam disita.

2. Pasal 3

Aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya masih berjalan.

Menimbulkan dualisme antara hukum perdata dan pidana. Masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: asetnya dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

3. Pasal 5 ayat (2) huruf a

Perampasan dapat dilakukan bila harta dianggap “tidak seimbang” dengan penghasilan sah. Frasa “tidak seimbang” sangat subjektif dan multitafsir.

Seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya lebih besar dibanding penghasilan hariannya.

4. Pasal 6 ayat (1)

Aset minimal Rp100 juta dapat dirampas. Ambang batas nominal ini tidak proporsional.

Buruh yang membeli rumah sederhana senilai Rp150 juta bisa terseret, sementara penjahat lihai menyiasati hukum dengan memecah aset di bawah Rp100 juta.

5. Pasal 7 ayat (1)

Aset tetap dapat dirampas meski tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan.

Berpotensi merugikan ahli waris atau pihak ketiga yang beritikad baik.

Anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya hanya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Prosedur perampasan juga bermasalah karena menggunakan asas reverse burden of proof (beban pembuktian terbalik). Setelah aset disita, rakyat yang harus membuktikan bahwa hartanya sah.

Warga kecil yang tidak paham hukum, atau tidak punya dokumen formal, bisa kehilangan aset. Sebaliknya, orang kaya dengan pengacara mahal mampu melindungi kekayaan.

1. Perjelas definisi frasa multitafsir seperti “tidak seimbang” dengan ukuran objektif: laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi.

2. Lindungi pihak ketiga dan ahli waris, sehingga harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

3. Beban pembuktian tetap pada aparat penegak hukum. Prinsip dasar: siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan.

4. Putusan pengadilan independen wajib menjadi syarat mutlak sebelum perampasan. Tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.

5. Proses perampasan harus transparan, diawasi publik dan media, serta menjamin akuntabilitas.

6. Negara wajib menyediakan bantuan hukum gratis bagi rakyat kecil yang terdampak.

7. Sosialisasi dan literasi hukum masif agar masyarakat tahu hak-haknya dan tidak mudah ditakut-takuti.

RUU Perampasan Aset ibarat pedang bermata dua. Bila dirumuskan dengan cermat, ia bisa menjadi senjata negara melawan korupsi. Namun bila pasal-pasal multitafsir tetap dibiarkan, rakyat kecil justru akan menjadi korban kriminalisasi, sementara orang kaya dengan kekuatan finansial bisa berlindung di balik celah hukum.

Negara harus berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Karena hukum seharusnya menghadirkan rasa aman, bukan ketakutan.

Oleh:
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH
Guru Besar Universitas Negeri Makassar
Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).